Tuesday, January 31, 2012

ujungkelingking - Saat kita menolak ajakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat, biasanya kita memberikan alasan untuk itu. Sebenarnya tak ada masalah dengan hal itu selama hal itu memang benar-benar terjadi dan bukan sebagai "tameng" untuk menghindari ajakan tersebut. Tapi bagaimana bila alasan tersebut hanyalah alasan mengada-ada untuk menolak suatu ajakan? Mungkin, kita tidak enjoy bila jalan dengan orang itu, atau mungkin kita malas keluar karena malas mengeluarkan motor yang sudah dicuci, atau alasan-alasan lain yang tidak mungkin kita menyampaikannya secara terang-terangan. Akhirnya kita pun menciptakan alasan-alasan yang tidak sebenarnya agar kita "selamat" dari ajakan tersebut.

Bila hal itu yang terjadi pada kita, saya sarankan untuk menolak tanpa memberikan alasan apapun!

Kenapa?

Karena alasan tersebut kita gunakan sebagai tembok, tameng, perisai (atau apalah penyebutannya) dari orang yang mengajak kita, maka logika yang muncul adalah bila alasan tersebut bisa dipatahkan, atau diatasi oleh orang tersebut berarti mau-tak mau kita harus ikut dengannya.

Contoh 1,

"Ikut ke kampus, yuk!" (Ajakan)
"Gak ah, lagi gak punya uang." (Alasan)
"Gak apa-apa, nanti aku yang bayarin." (Alasan terpatahkan)

Contoh 2,

"Ikut jalan-jalan ke mall, yuk!" (Ajakan)
"Males ah cin, panas gini." (Alasan)
"Lha di mall kan dingin?" (Alasan terpatahkan)
"Berangkatnya kan panas, cin..." (Alasan, lagi)
"Pake mobil gue" (Alasan terpatahkan, lagi)

Resiko bila alasan sudah terpatahkan adalah: kita harus mau untuk diajak. (Kecuali bila kita masih punya segudang alasan-alasan lain).

Kesimpulan: Untuk menolak, jangan pakai alasan!

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 31, 2012
Ilustrasi: Google
ujungkelingking - Bedanya (terlihat) tipis.

Tapi coba perhatikan ini, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1, motivasi diartikan sebagai n 1 dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2 Psi usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Sedang provokasi disebut sebagai n perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan.

Definisi yang lebih sederhana saya dapatkan dari Kamus Ilmiah Populer, yang disusun oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Disana dikatakan bahwa motivasi adalah dorongan (dengan sokongan moril); alasan; dorongan;tujuan tindakan. Sementara provokasi adalah istilah untuk menyebutkan tindakan propokasi; tantangan; usikan; pencingan; gertakan serius; penghasutan.

Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut sesuatu tindakan yang sama sekali berbeda. Tapi tidak dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan kedua istilah tersebut seringkali masih bias. Kita sulit mengatakan bahwa apakah seseorang itu sebagai motivator saat dia tengah berkoar-koar di tengah-tengah jalan raya. Kita juga gamang menyebut bahwa seseorang itu menjadi provokator hanya karena dia berapi-api di belakang mimbar khutbah. Atau podium. Dalam kehidupan riil, keduanya ternyata berbeda tipis.

Maka kemudian hanya ada satu tolok-ukur untuk "memvonis" seseorang itu sebagai motivator atau provokator, meskipun dalam beberapa kasus, hal ini berlaku subjektif. Yaitu, dari impact  yang ditimbulkannya!

Secara umum, motivasi akan berdampak baik, membangun dan memberi harapan baru. Berbeda dengan provokasi akan menciptakan sesuatu yang buruk, kehancuran dan kerusakan.

Mana yang lebih baik? Motivator, tentu. Maka, jadilah kita motivator-motivator yang baik, setidaknya untuk diri sendiri. Jika tidak bisa, setidaknya kita menjadi orang-orang yang bisa membedakan mana yang motivasi dan mana yang provokasi. Semoga kita selamat dengan itu.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 31, 2012

Friday, January 27, 2012

ujungkelingking - Dalam sebuah acara komedi yang ditayangkan sebuah TV swasta semalam, ada satu segmen dimana penonton bisa menuliskan masalahnya -utamanya masalah percintaan- untuk kemudian diberikan solusi oleh si host.

Kemudian sebuah surat dibacakan. Isinya kurang lebih sebagai berikut,
"Saya (gadis, pen.) sudah berpacaran selama setahun. Kemudian mantan saya minta balikan. Apa yang harus saya lakukan?"

Maka dengan cepat si host tadi langsung menukas, "Daripada kamu menjalani hubungan yang sekarang nggak enjoy, ya balikan aja!"

***

Apa yang ingin saya sampaikan? Bahwa mengetahui akar masalah adalah setengah dari solusi, itu benar. Tapi memberikan solusi dengan pengetahuan minim tentang akar permasalahan, adalah fatal!

Sebelum kita memutuskan akan memberikan solusi apa, sebaiknya kita tahu benar-benar situasi yang sedang terjadi. Dalam kasus di atas, akan lebih membantu bila kita tahu bagaimana background si gadis, latar belakang sang mantan, atau setidaknya apa yang menyebabkan mereka putus. Apakah sang mantan yang memutuskannya, atau jangan-jangan si gadis sendiri yang minta putus? Lalu dengan sang pacar yang sekarang apakah dia menjalin hubungan itu karena memang mencintainya atau hanya sekedar pelarian? Kalaupun -memang- sekedar pelarian, tentu tak semudah itu minta putus. Dulu waktu diputus sang mantan, tentu si gadis sakit hati atau minimal kecewa. Lalu bagaimana bila hal yang sama terjadi pada pacarnya yang sekarang -yang notabene- gak salah apa-apa?

Pendeknya, ada banyak faktor yang akan mempengaruhi keputusan atau solusi kita. Semakin banyak faktor pendukung, semakin objektif keputusan kita. Dan saya yakin si host tak berpikir sejauh itu. Darimana dia tahu kalau si gadis tidak enjoy dengan hubungannya yang sekarang? Surat dari si gadis itu singkat banget, lho. Dan  waktu setahun untuk berpacaran itu juga waktu yang cukup lama.

Ah, saya sadar apa yang ada di acara semalam tak lebih hanyalah sekedar untuk hiburan semata. Tapi bagaimana bila pola berpikir instan seperti ini diterapkan dalam keseharian kita?

(Mudah-mudahan tidak)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, January 27, 2012

Saturday, January 21, 2012

ujungkelingking - Dengan judul lain, Siapkah Anda Menjadi Seorang Atasan?

Hari ini kabarnya salah seorang rekan karyawan di tempat kerja saya akan resign. Dia mengundurkan diri dan lebih memilih bekerja di tempat lain. Apakah dia memilih gaji yang lebih besar? Mungkin saja. Tapi menurut saya faktor internal di departemen dia yang dominan. Entah itu hubungan dengan atasannya yang kurang harmonis, pekerjaan yang semuanya dibebankan kepada dia, atau faktor-faktor lain yang dia tak mau membeberkannya.

Tapi dari situ saya bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi seorang atasan tidak sesimpel yang dibayangkan. Ada banyak hal yang harus dilakukan dan lebih banyak lagi yang tidak boleh dilakukan.

Misalnya, jangan selalu menyalahkan anak buah karena kesalahan yang dilakukannya. Anda (baca: atasan) sebagai controller bertanggung jawab atas itu. Jika anda intens dalam me-monitoring pekerjaannya, tentu kesalahan tidak akan terjadi, bukan?

Kemudian seandainya anda harus menyalahkan anak buah anda, jangan sekali-kali membentaknya -apalagi- di tempat umum. Ini akan fatal. Karena sebaik apapun kebenaran nasehat anda jika cara penyampaiannya salah tempat, akan mental juga. Bisa-bisa masuk telinga kanan keluar dari telinga kanan juga. :D

Masalah pekerjaan juga harus anda timbang-timbang. Beri pekerjaan sesuai dengan kapasitasnya, meski anda juga harus mengupayakan untuk memaksimalkan kinerjanya. Jangan sampai anak SMA mengerjakan soal anak SD atau anak SD mengerjakan soal anak kuliahan. Ya itu tadi, sesuai kapasitas.

Dan dengan meningkatkan kemampuan anak buah anda, sejatinya anda akan lebih diuntungkan. Itu kata atasan saya. Dan itu betul, pekerjaan anda sebagai atasan akan lebih ringan lagi. Malah kalau versi atasan saya lebih sederhana lagi. Jadi kalau bawahan melakukan kesalahan cukup dibina saja. Kalau berkali-kali salah dan tak mungkin lagi dibina... ya, dibina-sakan saja. Hehehe...

Dan karena saya hanyalah seorang karyawan grass root -yang tidak mungkin saya mengajari atasan saya- maka, tulisan ini hanya sekedar curhatan saya saja.

Terinspirasi dari kejadian rekan kerja saya pagi ini.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 21, 2012

Wednesday, January 18, 2012

ujungkelingking - Tulisan ini adalah mencoba mengkritisi tulisan salah seorang Kompasianers yang bertajuk Apapun agamanya, beragama merupakan tindakan yang benar. Namun dikarenakan ada kemungkinan memicu terjadinya perdebatan agama, -yang akan menyalahi peraturan di Kompasiana- maka saya tulis artikel ini di blog pribadi saja.

Dalam tulisan tersebut penulis berpendapat tersebut bahwa,

"... meskipun sebuah informasi itu keliru dan tidak sesuai dengan fakta dan data sebenarnya, tetapi perbuatan atau tindakan mempercayai bahwa “informasi tersebut benar” adalah tindakan yang benar."

Dalam konteks pemikiran tersebut, maka dengan kata lain penulis beranggapan bahwa "yang tidak beragama" adalah salah, sedangkan "yang beragama" -apapun- agamanya adalah benar. Tentu ini sejalan dengan dasar pemikiran kelompok Islam Liberal, yang tentu juga bertentangan dengan semangat "innaddiina 'indallahi Islam". Sungguh, agama yang paling benar disisi Allah adalah Islam. Dan jelas, pemikiran bahwa "semua agama benar" adalah, salah.

Penulis juga telah menyandarkan pemikirannya terhadap surah dalam Al-Qur'an,

"...Jadi, secara akal sehat mungkin informasi yang keliru bisa tidak dipercaya, atau informasi yang benar justru diabaikan. Akan tetapi secara keyakinan informasi apapun yang masuk ke dalam bathin manusia, tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun. Maka disinilah, kebenaran beragama, apapun agamanya, dijamin oleh ajaran Islam (Al Kafiruun)."

Sekali lagi, Islam tidak pernah menjamin kebenaran agama lain. Menghormati, iya. Bahwa dalam Al-Kaafiiruun disebut "lakum diinukum, waliyaddiin" bukan berarti Islam melegitimasi ke-liberal-an tersebut. Dalam asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat tersebut) diceritakan bahwa kaum kafir pada waktu itu meminta compromise dengan Rasulullah. Yaitu dengan cara, hari ini mereka mau menyembah Allah, tetapi besok umat Muslim harus mau menyembah berhala mereka. Maka turunlah ayat tersebut dengan tegas menyatakan,

"Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."

Artinya, kita berbeda.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 18, 2012
Sumber: Dok. pribadi
ujungkelingking - Sabtu sore kemarin, istri saya mengeluhkan tentang tingginya suhu tubuh Zaki, putra kami. Istri saya kemudian memberikan obat penurun panas yang memang kami siapkan untuk jaga-jaga. Tapi hingga menginjak malam, suhu tubuh Zaki belum turun juga. Akhirnya saya minta istri saya untuk menyiapkan air panas buat mengkompresnya.

Semalaman kami mengkompres, tapi tidak menunjukkan gejala membaik. Sampai Minggu dini hari, panasnya justru semakin meninggi. Zaki kembali mengalami kejang!

Setelah melakukan pertolongan pertama sebisa mungkin, Zaki sudah "lepas" dari kejangnya, kami saat itu juga membawanya ke klinik dekat rumah. Pertimbangannya, bila suhunya bisa segera turun tentu tak perlu sampai rawat-inap segala.

Jam 02.30 Zaki masuk klinik. Suhu tubuh 39 derajat.

Bidan segera mengambil inisiatif memberi obat yang dimasukkan lewat dubur. Tapi panasnya tidak serta-merta hilang. Bahkan, ketika menunggu bidan meracik obat, Zaki kembali kejang. Bidan kemudian memasangkan oksigen lewat hidung. Dan saat akan memasangkan jarum infus, kami kembali mengalami kesulitan. Pada kasus seperti yang dialami Zaki pembuluh darah akan mengalami penyempitan, sehingga jarum suntik akan sulit untuk masuk. Pada percobaan keempat akhirnya jarum infus bisa masuk, itupun melalui pembuluh darah yang ada di kaki.

Ketika pagi hari dokternya tiba, istri saya bertanya apakah nanti siang Zaki sudah diperbolehkan pulang. Dokter itu memberikan saran untuk rawat inap, setidaknya satu malam, sebab kondisi suhu tubuh akibat demam kejang biasanya masih belum stabil. Dan benar saja, Minggu malamnya suhu tubuh Zaki meninggi kembali! Beruntung masih ada infus...

Ngomong-ngomong soal ngamar, di klinik tersebut meski kamarnya cuma sedikit, tapi cukup eksklusif juga. Satu pasien satu kamar. Sempat saya menimbang-nimbang, kalau di puskesmas yang satu ruangan bisa untuk 8 pasien dengan tarif Rp30.000,- per harinya, ini mungkin lebih mahal lagi. Perkiraan saya mungkin bisa 50-60ribuan. Belakangan saya baru tahu bila tarif per harinya seratus ribu! Dan total biaya yang sebelumnya kami perkirakan sekitar 200 ribuan, meleset. Senin siangnya kami sudah menerima rincian biaya yang harus dibayar. Total jumlahnya hampir 500 ribu! Padahal, uang yang ada di dompet saya cuma seratus ribu. Akhirnya kami pulang dengan membayar seratus ribu dulu dan berjanji akan melunasinya nanti sore dengan jaminan KTP (huft!) meski, saya sendiri ragu darimana harus mendapatkan uang untuk membayar sisa tagihan tersebut.

Sampai di rumah saya langsung berembug dengan istri saya. Dan istri saya harus rela menyerahkan antingnya - satu-satunya perhiasan istri saya selain cincin maskawin – demi melunasi tunggakan itu.

Ah, maafkan aku, istriku. Mudah-mudahan kita diberi kelebihan rejeki agar aku bisa mengganti anting itu kembali.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 18, 2012

Saturday, January 14, 2012

ujungkelingking - Setelah tadi salah seorang rekan Kompasianers memposting tulisannya yang berjudul Logika “Dibalik Kesulitan, Ada  Kemudahan”, saya pun akhirnya latah ikut-ikutan menulis tema yang sama.

Dalam KBBI V1.1 kesulitan (sulit) diartikan dengan sukar sekali; susah (diselesaikan, dikerjakan, dsb). Sedangkan kemudahan (mudah) terdefinisikan sebagai tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dl mengerjakan; tidak sukar; tidak berat; gampang.

Tapi ada definisi yang lebih mudah. Yaitu bahwa 'kesulitan' pada hakikatnya adalah kemudahan -yang kita belum menemukan penyelesaiannya. Sementara 'kemudahan' adalah sebenarnya hal yang sulit, hanya saja kita sudah tahu ilmunya. Satu masalah yang sama bisa berarti sulit bagi sebagian orang, tapi bisa juga hal yang sepele bagi sebagian yang lain. Contoh,

Bagi anak kelas 1 Sekolah Dasar hasil perkalian dari 5 x 5 tentu merupakan suatu persoalan yang pelik. Tapi tidak bagi Anda. Bagi anak saya, penjelasan bagaimana hujan bisa turun mungkin tak terjangkau oleh nalarnya, tapi saya bisa dengan mudah menjelaskan bagaimana hujan turun.

Karena itu kunci pembeda dari dua hal ini hanyalah pada deskripsi dari kata 'ilmu'. Dengannya, hal yang sulit bisa menjadi mudah. Tanpanya, hal yang mudah menjadi begitu sulit.

Jadi ungkapan bahwa "setelah kesulitan itu ada kemudahan", saya pikir tidaklah tepat. Karena sebenarnya, "bersama kesulitan itu ada kemudahan". Tinggal dari sisi mana posisi kita melihatnya, dari posisi orang yang berilmu atau sebaliknya.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012
Ilustrasi: shutterstock
ujungkelingking - Dulu, waktu anak kami masih berusia enam bulanan, istri saya sering menyanyikan untuknya lagu Bintang Kecil. Kemudian lama setelah itu, karena kesibukan yang semakin bertambah (halaah, sibuk opo?) dan karena kami lebih sibuk mengajari anak kami hal-hal yang lain, istri saya tak pernah menyanyikan Bintang Kecil lagi.

Nah, beberapa hari yang lalu, iseng-iseng istri saya coba menyanyikan kembali lagu tersebut. Hasilnya menarik, anak saya yang sudah hampir dua tahun itu masih ingat betul lirik lagunya! Saat istri saya melafalkan "Bintang kecil dilangit...", anak saya langsung menyahut "...tinggi,". Begitu juga saat istri saya menyanyikan "Amat banyak...", anak saya langsung bilang, "...angkasa," -tentu dengan bahasanya yang kurang begitu jelas. Tapi ini membuktikan satu hal bahwa daya rekam otak anak-anak sungguh luar biasanya.

Maka berhati-hatilah berbicara dan mengajarkan sesuatu kepada anak kita, karena dampaknya mungkin  bukan hari itu tapi bertahun-tahun kemudian saat dia dewasa dan pengajaran kita (telah) membentuk  karakternya. Termasuk dalam memperkenalkan lirik lagu, sekalipun itu lagu anak-anak. Coba perhatikan ini,

"Si Kancil anak nakal / Suka mencuri ketimun / Ayo lekas dikurung / Jangan diberi ampun..."

Sungguh tak elok rasanya bila semenjak kecil anak-anak dididik untuk anti-memaafkan. Suatu kesalahan besar bila anak-anak yang masih polos itu dipoles untuk lebih senang membalas daripada memaafkan.

Atau yang ini,

"Dua mata saya / Yang kiri dan kanan / Satu mulut saya / Tidak berhenti makan..."

Mungkin pengarang lagu ini beranggapan bahwa anak kecil yang masih dalam tahap pertumbuhan  membutuhkan asupan yang banyak. Tapi saya lebih melihatnya sebagai pengajaran untuk bersikap konsumtif. Masih banyak lagu anak-anak yang lebih bagus (baca: mendidik) liriknya. Kalaupun terpaksa harus  menggunakan lagu ini, akan lebih baik bila liriknya sedikit diganti seperti yang dilakukan oleh TK/Playgroup kebanyakan.

"Satu mulut saya / Bicara yang sopan..."

Anak -disadari atau tidak- adalah anugerah terbesar dalam hidup kita. Jaga dia. Dan lebih penting dari itu,  cetak dia untuk menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat bagi dunia.

Salam,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012

Thursday, January 12, 2012

ujungkelingking - Mau software gratisan?

Coba situs yang direkomendasikan salah seorang Kompasianer. Situs ini sifatnya freeware/shareware.

Langsung saja meluncur di http://www.filehippo.com/

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, January 12, 2012

Saturday, January 7, 2012

ujungkelingking - Beberapa waktu yang lalu saya mendapat teguran dari atasan atas keterlambatan saya dalam masuk kantor. Maklum, jarak antara rumah dan tempat kerja saya bisa sampai satu seperempat jam atau satu jam setengah dengan menggunakan motor. Dan karena terlalu sulit buat saya untuk berangkat lebih pagi, akhirnya saya memilih sedikit gambling dengan "sedikit" ngebut di jalan. Tapi toh, tetap saja saya masih sering terlambat. Bahkan untuk bulan kemarin saja, saya ada 12 kasus keterlambatan (12 hari!). Teguran-teguran semacam itu bila tidak segera diantisipasi pada akhirnya nanti akan bisa mempengaruhi penilaian terhadap kinerja seorang karyawan, bahkan bisa berimbas pada minimnya kenaikan gaji tahunan! Yah, saya hanya bisa meminta maaf waktu itu dan mengatakan akan berusaha untuk tidak terlambat lagi.

Lalu bagaimana dengan rekan-rekan kerja saya yang lainnya, yang mereka juga sering terlambat?

Uniknya, mereka tidak terkena teguran seperti saya. Lha, kok bisa? Ya bisa saja, sebab mereka tidak pernah checklock seperti saya. Hehehe...

Maka kemudian terdapat opsi seperti ini; checklock meski terlambat dan kena teguran, atau tidak checklock dan selamat. Dan mungkin banyak rekan-rekan saya yang bimbang dengan dua pilihan itu. Tapi saya? Whatever-lah. Saya akan tetap checklock meski mungkin saya akan tetap terlambat.

Benar apa yang dikatakan seorang kawan; "Jika memulai pekerjaan saja sudah tidak jujur, bagaimana dengan pekerjaannya?"

Selamat pagi,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 07, 2012

Thursday, January 5, 2012

ujungkelingking - Tiga malam yang lalu saya berencana untuk pergi ke dokter untuk memeriksakan kehamilan istri saya. Tapi karena hujan turun cukup deras, kami pun membatalkan rencana tersebut. Esok malamnya, kami akhirnya bisa berangkat ke rumah sakit. Tapi sayangnya, hari itu bukan jadwal dokter kandungan yang dimaksud. Kami pun terpaksa kembali lagi.

Dan kemarin malam, setelah dua kali gagal men-USG kandungan istri, akhirnya niat itu kesampaian juga.

USG, atau ultrasonografi adalah istilah medis untuk memperlihatkan gambaran rahim dan isinya dengan menggunakan gelombang suara tinggi yang dipantulkan ke tubuh sehingga mampu memberikan informasi dalam bentuk gambar yang muncul di layar monitor. Dan karena tidak memasukkan sinar radiasi, jarum suntik ataupun cairan dan obat-obatan ke dalam tubuh sehingga USG dianggap aman untuk bayi dalam kandungan.

Sebenarnya tujuan awal pemeriksaan ultrasonografi ini adalah karena faktor medis saja, yaitu untuk melihat perkembangan serta posisi janin di dalam kandungan. Tetapi dengan melakukan USG kita juga mungkin mendapat "bonus" berupa perkiraan jenis kelamin calon bayi. Saya katakan mungkin, karena bisa saja jenis kelamin calon bayi tidak terlihat meski mestinya sudah terlihat. Hal itu juga terjadi pada saat istri saya mengandung putra pertama kami. Bahkan kami sampai melakukan dua kali USG!

Tapi kembali pada tujuan awal pemeriksaan tersebut. Terlihat atau terlihat jenis kelaminnya, tentu tidak masalah bagi kita selaku orang tua. Apalagi sebagai seorang suami, prioritasnya adalah kesehatan si bayi dan sang ibu saja. Toh, kalaupun lahir kita tidak akan mempermasalahkannya meski dia laki-laki ataupun perempuan.

Lalu bagaimana dengan calon anak kedua kami?

Hehe, sebenarnya saya tidak sempat ikut masuk ke ruang pemeriksaan sehingga saya tidak tahu "gambar"nya si janin. Itu gara-gara saya lebih sibuk jadi "asisten" Zaki -putra pertama kami- yang lebih suka mondar-mandir keliling rumah sakit daripada nungguin ibunya antri. Jadilah saya harus mengikuti kemana dia jalan-jalan sambil siap-sedia membawakan minumannya.

Dan setelah lelah mondar-mandir, saya baru sadar kalau istri saya sudah selesai diperiksa. Saya bertanya kepada istri saya, "Bagaimana?"

Istri saya tersenyum. Jawab dia,

"Laki-laki."




Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, January 05, 2012

Monday, January 2, 2012

ujungkelingking - Banyak orang -sampai hari ini- beranggapan bahwa cantik itu relatif. Artinya bahwa seseorang yang kita anggap cantik belum tentu dianggap cantik juga bagi orang lain. Sebaliknya, yang bagi orang lain cantik belum tentu juga kita menganggapnya cantik.

Tapi, teori yang seperti itu tidak benar, bagi saya.

Saya punya pendapat sendiri tentang hal ini. Bagi saya -justru- kecantikan itu adalah mutlak, atau tidak relatif. Artinya, jika dalam suatu kumpulan (baca: banyak orang) menganggap si A itu cantik, maka benar si A itu cantik. Jika kumpulan tersebut mengatakan si B itu jelek, maka begitulah keadaannya. Dan menyimpang dari teori ini, maka seseorang itu akan dianggap buta, atau setidaknya tertipu.

Misal, si Mimi perawan desa itu dianggap oleh orang sekampung sangatlah cantik. Tapi tiba-tiba ada satu orang yang berteriak-teriak mengatakan si Mimi itu jelek. Bagaimana menurut anda? Kalau bukan gila, mungkin buta, atau "berselera rendah". Hehe...

Tapi tentu teori ini tak selamanya benar. Dalam hal menyikapi kebenaran, misalnya. Tidak bisa kita beranggapan bahwa jika semua orang menganggap suatu hal itu benar maka hal tersebut memang benar. Suatu kebenaran tidak bisa dianggap benar hanya karena banyak orang melakukannya.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, January 02, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!