Saturday, March 23, 2013

ujungkelingking - Ketika kita bertemu dengan seseorang biasanya kita menyapanya dengan menggunakan kalimat sapaan. Kalimat sapaan yang populer biasanya adalah selamat pagi, selamat siang, dsb.

Dalam dunia yang serba instan dewasa ini kita dituntut untuk mengerjakan sesuatunya dengan secepat dan sesingkat mungkin. Termasuk juga dalam menggunakan kalimat sapaan. Kalau dulu kita menyapa dengan "Selamat pagi", maka sekarang sudah disingkat menjadi "Met pagi" saja. Dan sering dijumpai "Met pagi" itupun dipotong lagi menjadi cukup dengan "Pagi".

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa yang dimaksud dengan "Pagi" dalam sebuah kalimat sapaan adalah "Selamat pagi", namun tentu saja -menurut hemat saya- tetap ada perbedaan yang sangat signifikan antara ucapan "Selamat pagi" yang diucapkan dengan lengkap dengan hanya "Pagi" saja.

Ucapan "Selamat pagi" mengandung maksud doa dan harapan agar orang yang disapa mendapat keselamatan di pagi hari tersebut. Sedangkan jika digunakan kata "Pagi" saja, tidak lain artinya hanyalah sebagai penunjuk waktu.

Ketika seorang pengajar masuk ke dalam kelas, lalu dia mengucapkan, "Selamat pagi, anak-anak!", maka pengertian yang timbul adalah: [Semoga kalian mendapat] keselamatan [di] pagi [ini], anak-anak.

Berbeda ketika yang diucapkan adalah, "Pagi, anak-anak!", karena arti yang muncul adalah: [Hari ini sudah] pagi, anak-anak.

Jadi, jika Anda ingin menyapa seseorang, akan lebih baik jika Anda menggunakan versi yang lengkap. Tidak ada ruginya mendoakan kebaikan bagi orang lain, sebab siapa tahu doa itu juga akan kembali kepada diri kita.

***

Bagi kita yang Muslim, tentu kalimat sapaan "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh" adalah ucapan sapa yang paling komplit: Semoga keselamatan, rahmat dan berkah dari Allah tetap atas Anda. Sebuah doa yang amat sempurna, tidak "pelit" karena mencakup segala keadaan dan tidak berbatas waktu.

Dari Imran bin Al-Hushain radhiallahu anhu, dia berkata:


جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرٌ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ عِشْرُونَ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ ثَلَاثُونَ

Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan, "Assalamu alaikum," Beliau membalas salam orang tersebut, kemudian orang itu duduk. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Sepuluh pahala". Setelah itu ada orang lain yang datang dan mengucapkan salam, "Assalamu alaikum wa rahmatullah," Beliau membalas salam orang tersebut, kemudian orang itu duduk, maka beliau bersabda: "Dua puluh pahala". Setelah itu ada lagi orang yang datang dan mengucapakan salam, "Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh," Beliau membalas salam orang tersebut kemudian orang itu duduk. Beliau lalu bersabda: "Tiga puluh pahala".
[Abu Daud No. 5195, At-Tirmizi No. 2689, dan Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (5/11), "Sanadnya kuat"]

Karena ucapan ini adalah sebuah bentuk ibadah juga, maka tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz yang lain dari hadits di atas. Adapun untuk jawabannya adalah yang lebih komplit adalah lebih baik, atau setidaknya yang sama.


وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.
[An-Nisa': 86]

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, March 23, 2013

Wednesday, March 13, 2013

ujungkelingking - Banyak cerita banyak kisah yang mengajarkan kita tentang pentingnya berhati-hati di dalam berbicara. Ungkapan "Mulutmu, harimaumu" begitu akrabnya dalam keseharian kita. Sering kita jumpai ucapan-ucapan yang terlontar begitu saja tanpa kontrol sebelumnya sehingga menjadi ucapan yang menyakiti, melecehkan, membuat marah sebagian atau banyak orang. Tak terkecuali tayangan televisi kita. Betapa banyak acara-acara "live" di layar kaca dengan host-host yang -saya sebut saja- labil, latah dan terlalu muda untuk bertanggung jawab terhadap ucapannya.

Kita mungkin masih ingat beberapa waktu yang lalu Olga (di acara Dahsyat?) pernah "keceplosan" dengan statementnya yang menyatakan bahwa orang Islam identik dengan pengemis, kini giliran host dari acara sejenis, Inbox, yang melecehkan seorang perempuan tua di atas panggung!

Menurut KPI, kita simak, acara yang ditayangkan pada 7 Januari 2013 tersebut menampilkan para host yang memanggil seorang perempuan tua ke atas panggung.

Ketika perempuan tua tersebut naik, Andhika mengatakan, "Ini cewek Brazil? Yang beginian di lampu merah Gaplek banyak!"

Narji lalu menimpali, "Maaf ini Ibu, yang terbalik topinya apa mukanya?" (Monyong lu yang kebalik!)

Tak selesai, -karena dianggap lucu- Gading melanjutkan, "Ini sih bukan Brazil, (tapi) berantakan!"

Selain itu, Andhika juga memperlihatkan sebuah buku sambil mengatakan bahwa perempuan tua tersebut masuk ke dalam buku sejarah!

***

KPI dalam hal ini sudah melayangkan surat pemberhentian tayangan tersebut (yang sayangnya) untuk sementara dalam antara tanggal 6 - 20 di bulan ini.

Tentu masih banyak hal yang bisa dipakai untuk lucu-lucuan, usil-usilan daripada harus menabrak batas-batas norma dan kesopanan. Lucu memang, bagi dia. Tapi tidak bagi orang lain. Saya pribadi sangat mengkhawatirkan tayangan-tayangan semacam ini. Apalagi ditayangkan pagi hari ketika anak-anak masih di rumah.

Seperti yang pernah saya tulis dalam Dumay, Hilangnya Sebuah Etika, sepertinya "etika" juga sudah mulai banyak ditinggalkan di dunia nyata.

#Salam Miris
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, March 13, 2013

Monday, March 11, 2013

ujungkelingking - Kemarin, 10 Maret 2013, tepat 3 tahun usia anak pertama kami.

Bagi Anda yang aktif di ruang maya, -Kompasiana, misalnya- rentang waktu 3 tahun bukanlah masa yang singkat. Banyak hal cerita sudah terjadi, banyak hal yang sudah dilalui. Namun bagi kami, 3 tahun masihlah terlalu pagi untuk mengatakan 'banyak sudah terjadi'. Karena, lebih banyak lagi yang akan terjadi.

Saya merasa bahwa kami -orangtuanya- baru saja mulai memposisikan kaki kami di garis start. Belum mulai berlari. Kami merasa "hanya" sudah memutar kunci ON. Namun mesin belum lagi menyala, roda belum lagi berjalan.

Sabtu malamnya, saya iseng-iseng coba bertanya kepada anak saya, "Kakak minta dibelikan hadiah apa?". Anak saya langsung menyahut, "Buku!". Wah, fenomenal ini! Padahal dugaan saya sebelumnya, paling-paling anak saya akan minta dibelikan es krim, atau wafer coklat kesukaannya. Ibunya lantas menyambung, "Minta dibelikan buku apa?". Sebelum ibunya memberikan opsi, anak saya cepat menjawab, "Buku cerita!". Hehe,

Untuk ukuran anak seusianya, anak saya memang tergolong anak yang aktif. Lincah, meski sering bikin sebal dan kuatir ibunya.

Usia 11 bulan Zaki sudah bisa berjalan. 2,5 tahun sudah bisa membaca, tanpa eja. Menulisnya juga diberbagai tempat: spidol di lantai, krayon di tembok, mouse di paint, keyboard di power point, dan... kemarin saya baru menyadari rupanya Zaki sudah bisa mengetik SMS, padahal hape saya tidak menggunakan keyboard QWERTY.

Daya serapnya memang sangat bagus. Disinilah kami menyadari bahwa tugas kami semakin berat ke depannya. Sebab sepintas melihat atau sekali mendengar, akan terbawa hingga dia besar.


Namun, segala harapan-harapan kami terbatasi dengan kelemahan manusiawi kami. Banyak hal yang luput dari pengawasan kami, banyak tempat yang lepas dari penjagaan kami. Dan keteladanan yang kami punya pun masih jauh dari sempurna.

Karena itu, tak muluk-muluk doa kami untukmu. Perbaguslah keislamanmu, agar ketika nanti kami mengahadap Rabb-mu, kami bisa menegakkan kepala kami seraya mengatakan, "Amanah-Mu sudah kami tunaikan."


رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. [Ibrahim: 40]


Jagalah sholatmu

Note: Setiap kelebihan menyimpan kekurangan. Sampai saat ini Zaki:
  • Belum bisa menggunakan motorik kasarnya (menggenggam, menangkap, menggunting, dsb.) dengan baik.
  • Belum mau berbagi dengan adiknya. Kepunyaan adiknya adalah kepunyaannya, tapi tidak berlaku sebaliknya, haddeeehhh...
  • Belum bisa bersabar. Apa yang diinginkan harus saat itu juga, orang jawa bilang 'sak dhek sak nyet'.
  • Moody. Kalau sudah ngambek bisa sampai seharian, dan susah banget dibujuk.
  • dsb. (akan ditambahkan selanjutnya: kalau ingat)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, March 11, 2013

Thursday, March 7, 2013

ujungkelingking - Dalam surah An-Nahl ayat 43 tersebut,


وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui. [An-Nahl: 43]

'Ahli dzikir' pada ayat di atas kerap diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan; orang yang berilmu di bidangnya. Padahal ada suatu kaidah berbunyi, "hukum awal dari sebuah (arti) kata adalah arti secara harfiahnya". Maka untuk menetapkan arti yang lain dari arti denotasinya, dibutuhkan sebuah dalil.

An-Nahl ayat selanjutnya berbunyi,


بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu adz-dzikrah (Al-Qur'an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. [An-Nahl: 44]

Di ayat ini Allah subhanahu wa ta'ala menggunakan nama 'adz-dzikrah' untuk menyebut Al-Qur'an. Maka korelasinya dari ayat sebelumnya -tentu- yang dimaksud dengan 'ahli dzikir' itu adalah ahlu 'l-Qur'an atau orang yang mengerti dan paham tentang Al-Qur'an, sebutan yang paling umum adalah para Ulama'.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/571-572)

Sedang tentang 'majelis dzikir', Imam Al-Qurthubi menjelaskan, "Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya firman-firman Allah, sunnah Rasul-Nya, dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu..." (Fiqh Sunnah 2/87)

Hujjatul Islam -Imam Al-Ghazali- mengatakan, "Yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah: tadabbur Al-Qur'an, mempelajari agama, dan menghitung-hitung nikmat yang telah Allah berikan kepada kita." (Faidhu 'l-Qadir 5/519)


Penyebutan 'ahli dzikir' memang lebih menarik perhatian, kenapa harus ahli dzikir?

Kita tahu bahwa isi dari Al Qur’an bukan hanya berkisah tentang orang-orang terdahulu, akan tetapi tiap rangkaian kata yang dipakainya mempunyai arti yang amat luas dan dalam. Karena itu tidak semua orang bisa dan bebas men-terjemahkannya ke dalam bahasa lain karena dibutuhkan disiplin ilmu tertentu.

Di dalam surah Ali Imraan ayat 190-191 dijelaskan bahwa ahli dzikir itu adalah ulil albab, yang diterjemahkan sebagai ‘orang-orang yang berakal’,


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, [Ali Imraan: 190]

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". [Ali Imraan: 191]


Maka logikanya dengan An-Nahl: 43 adalah bahwa jika bertanya, bertanyalah kepada orang yang berakal, bukan kepada orang yang tidak berakal.

Kenapa tidak diartikan kepada ‘orang yang memiliki ilmu pengetahuan’ saja?

Pada dasarnya ilmu pengetahuan itu luas sekali. Dan jika yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan –selain ulama’- maka mereka mungkin hanya tahu hal-hal yang kasat mata saja, hanya tahu hal-hal yang dapat terjangkau oleh sains mereka. Lebih dari itu, tidak.

Mereka mungkin juga tahu mana yang baik (haq) dan mana yang bathil, namun belum tentu mereka mengamalkannya. Seorang koruptor, misalnya, mereka bukanlah orang-orang yang tidak berpendidikan. Mereka adalah orang-orang yang paham hukum. Namun, justru karena ilmu yang dimilikinya mereka mampu melakukan korupsi.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam bersabda,

“Perbedaan antara orang berdzikir dan yang tidak adalah seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” [Bukhari, Muslim dan Baihaqi]


Cukup jelas dan tegas perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah ini. Jika dilogikakan kembali dengan An-Nahl: 43, jika bertanya, maka bertanyalah kepada orang yang hidup, bukan kepada “orang mati”!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, March 07, 2013

Friday, March 1, 2013

ujungkelingking - Tentu pertanyaannya tidak bisa dibalik, “jadi tua apakah harus bijak?”. Kok rada aneh jadinya.

Jika judul di atas yang ditanyakan kepada saya, tentu jawaban yang paling mudah adalah, “idealnya seperti itu”. Maksudnya adalah bahwa semakin tua usia seseorang “seharusnya” semakin dewasa dan bijaksana ia.

Tapi ada kok yang sudah tua tapi masih childish. Ada kok yang umurnya masih muda tapi sudah bijaksana banget.

Kembali lagi ke jawaban paling mudah -idealnya- bahwa semakin banyak seseorang makan asam-garam kehidupan dia lebih punya peluang untuk menjadi bijaksana. Tapi apakah tua pasti bijaksana? Tergantung, apakah dia bisa mengambil pelajaran dari asam-garam itu.

Nah, karena kebijaksanaan itu erat kaitannya dengan cara berpikir, yang proses berpikir itu melibatkan kerja otak, maka disinilah kebijaksanaan itu bisa dilatih.

Idem dengan apa yang ditulis oleh salah seorang Kompasianer, Irsyal Rusad*, bahwa menurut penelitian otak itu seperti otot. Untuk meng-upgrade-nya dibutuhkan latihan yang kontinyu, sejak dini. Tapi berbeda dengan otot yang memiliki batas maksimal -yang jika dilanggar bisa mengakibatkan cedera- otak tidak akan menjadi rusak karena dirangsang dengan belajar dan berlatih.


Lantas bagaimana kita melatih otak agar dapat berpikir bijak?

Sementara ini, yang bisa saya tangkap dari para senior-senior, sebagai langkah awal adalah menahan diri dari marah. Sumpah, kalau untuk yang satu ini susahnya setengah mati! Apalagi untuk saya yang orangnya ngambek’an (hehe, yang ini mudah-mudahan gak ada yang percaya)…

Tapi harus dilatih.

Saat menghadapi suatu kejadian yang “mengharuskan” kita marah cobalah untuk menahannya dulu, jangan langsung dilepas. Kemarahan menghalangi kita berpikir panjang. Namun dengan mencoba menahannya menjadikan kita bisa melihat dengan lebih jernih. Dan pikiran yang jernih akan membuat kita bisa menghasilkan jawaban, balasan, dan reaksi yang tepat.

Jadi jika pertanyaannya, apakah menjadi bijak harus menjadi tua dulu? Jawabannya, tergantung seberapa cepat kita berlatih.


Salam (mudah-mudahan) bijak.



*http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2013/02/28/makin-bodoh-jangan-salahkan-usia-anda-537988.html
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, March 01, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!